Malam itu, sekelompok remaja berkumpul di perkemahan mereka yang terletak di tengah hutan. Suasana sepi dan dingin, dengan suara angin berdesir di antara pepohonan. Mereka bersemangat untuk melakukan kegiatan jurit malam, di mana mereka akan bersembunyi dan mencari satu sama lain di kegelapan.

 

 

Pemandu mereka, Kak Rina, menjelaskan aturan dan memberi semangat. “Ingat, jangan jauh-jauh dari area perkemahan! Tetap waspada, dan kalau ada yang merasa tidak nyaman, langsung kembali ke tenda.

Setelah membagi kelompok, mereka mulai bersebar. Malam semakin larut, dan suara hutan mulai terdengar lebih jelas: desisan angin, gerakan dedaunan, dan sesekali suara binatang malam.

Setelah beberapa waktu, salah satu remaja, Dika, merasa ada yang aneh. Ia mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Ia berusaha tenang, berpikir itu mungkin teman yang sedang mencari. Namun, ketika ia berbalik, tidak ada siapa-siapa. Merasa merinding, Dika mempercepat langkahnya, mencari tempat yang lebih aman.

Sementara itu, kelompok lain merasakan ketegangan. Lila dan Fani, yang bersembunyi di semak-semak, mendengar suara bisikan pelan. Mereka saling memandang, bingung. “Apakah kamu mendengar itu?” tanya Lila. Fani mengangguk, suara itu semakin mendekat. Mereka mencoba berbisik, tetapi ketakutan membuat suara mereka hampir tak terdengar.

Tiba-tiba, salah satu teman mereka, Budi, muncul dari kegelapan dengan wajah pucat. “Ada yang aneh di sana,” katanya, menunjuk ke arah hutan. “Aku lihat sosok… putih, bergerak cepat.”

Mereka semua merasa bulu kuduk meremang. Kak Rina mencoba menenangkan mereka. “Mungkin itu hanya bayangan. Ayo, kita kumpulkan semua orang.”

Mereka berkumpul di dekat api unggun, tetapi ketegangan semakin terasa. Suara-suara aneh terdengar semakin dekat, dan salah satu dari mereka, Yuni, terjatuh. Ketika ia bangkit, wajahnya penuh ketakutan. “Aku… aku melihatnya!” Ia menunjuk ke arah hutan.

Semua mata menatap ke arah yang sama. Di antara pepohonan, terlihat sosok tinggi, berbaju putih, dengan mata hitam pekat menatap tajam ke arah mereka. Suasana hening sejenak sebelum semua orang berlarian menuju tenda, panik dan tak teratur.

Di dalam tenda, mereka berusaha menenangkan diri, tetapi suara langkah kaki dan bisikan masih terdengar di luar. Kak Rina berusaha menghubungi pihak berwenang melalui radio, tetapi sinyalnya hilang. “Kita harus tetap bersama dan menunggu sampai pagi,” katanya, berusaha memberi harapan.

Namun, ketakutan semakin mencekam. Tiba-tiba, suara berderak terdengar dari luar, diikuti dengan suara tertawa yang mengerikan. Mereka saling berpegangan tangan, mencoba menahan rasa takut.

Akhirnya, fajar mulai menyingsing, dan suara-suara itu perlahan menghilang. Saat cahaya mulai masuk, mereka berani keluar dari tenda. Di tempat yang sama di mana mereka melihat sosok itu, ada jejak kaki yang dalam dan aneh, seolah baru saja meninggalkan tempat tersebut.

Dengan hati yang berdebar, mereka kembali ke perkemahan, berjanji tidak akan melupakan malam mengerikan itu. Mereka tidak pernah tahu siapa atau apa yang mengganggu mereka malam itu, tetapi satu hal pasti: pengalaman itu akan selalu menghantui ingatan mereka selamanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *