Suatu malam, sekelompok teman memutuskan untuk mendaki Gunung Lembah Angker, yang terkenal dengan keindahan alamnya dan mitos yang menyelimuti. Mereka berangkat dengan semangat, membawa perbekalan dan tenda. Malam itu, cuaca cerah dan bulan purnama menerangi jalur pendakian.
Setelah beberapa jam mendaki, mereka tiba di sebuah tempat yang cocok untuk beristirahat. Mereka mendirikan tenda dan mulai berbincang-bincang, mengisahkan pengalaman seru di gunung-gunung sebelumnya. Namun, salah satu dari mereka, Budi, mulai bercerita tentang legenda pocong yang menghantui Gunung Lembah Angker.
“Katanya, pocong itu adalah arwah pendaki yang belum bisa tenang. Dia muncul saat bulan purnama dan mencari teman untuk dibawa pergi,” ujarnya dengan nada serius. Teman-temannya hanya tertawa, menganggap itu hanya mitos belaka.
Malam semakin larut, dan satu per satu, mereka mulai tertidur. Tiba-tiba, suara jeritan dari arah luar tenda membangunkan mereka. “Ada apa?” tanya Rina, ketakutan. Mereka keluar tenda dan melihat sekeliling, namun tidak ada apa-apa. Suasana hening, hanya terdengar suara angin berdesir.
Tiba-tiba, salah satu dari mereka, Andi, menunjuk ke arah hutan. “Lihat!” teriaknya. Mereka semua menatap ke arah yang ditunjuk dan melihat sosok berbaju putih berdiri di antara pepohonan, dengan kepala menunduk.
“Pocong!” Rina berbisik, suaranya bergetar. Mereka semua terdiam, tak tahu harus berbuat apa. Sosok itu mulai mendekat, melayang di atas tanah, tanpa kaki yang terlihat. Saat semakin dekat, wajahnya mulai terlihat. Mata kosong dan mulut terkatup rapat, menambah suasana mencekam.
Budi berusaha untuk tenang. “Ayo, kita kembali ke tenda!” katanya, tapi sebelum mereka bisa bergerak, pocong itu tiba-tiba berhenti dan menatap mereka dengan tajam. “Tolong… temani aku,” suara serak dan lemah itu menggema di hutan.
Semua berlari ke tenda, panik dan ketakutan. Mereka menutup rapat-rapat zip tenda dan berusaha menenangkan diri. “Apa yang harus kita lakukan?” tanya Dika, suaranya bergetar.
“Jangan panik. Kita harus menunggu sampai pagi,” jawab Budi. Namun, ketenangan itu hanya sementara. Suara jeritan dan tangisan terdengar dari luar tenda, membuat mereka semakin ketakutan.
Tiba-tiba, tenda bergetar hebat. Seolah ada sesuatu yang berusaha masuk. Mereka berpegangan satu sama lain, tak berani melihat keluar. Dalam kegelapan, terdengar lagi suara lembut. “Temani aku… jangan tinggalkan aku.”
Rina, yang paling berani di antara mereka, memutuskan untuk keluar. “Aku harus melihat!” katanya, meskipun gemetar. Dengan lampu senter di tangannya, ia keluar dari tenda, diikuti oleh Budi dan Dika dengan rasa takut.
Di luar, sosok pocong itu masih berdiri di sana, menunggu dengan tatapan penuh harap. “Kalian… maukah kalian menemani aku?” tanyanya lagi, suaranya terdengar lebih jelas.
Budi menggenggam tangan Rina dan Dika. “Kita tidak bisa biarkan dia sendirian. Mungkin dia butuh bantuan,” ucapnya. Rina mengangguk, meski jantungnya berdebar kencang.
Mereka mendekat, dan pocong itu mulai melayang mendekati mereka. “Selama ini aku terjebak di sini, menunggu teman…,” katanya. “Bantu aku menemukan kedamaian.”
Tanpa berpikir panjang, mereka saling menggenggam tangan dan menutup mata. “Kami akan menemani kamu,” ucap Rina berani. Tiba-tiba, suasana berubah. Cahaya bulan seolah memancarkan kehangatan.
Pocong itu tersenyum, dan dalam sekejap, sosoknya menghilang, diiringi dengan angin sejuk yang menyelimuti mereka. Semua terasa tenang.
Mereka pun kembali ke tenda, dan akhirnya bisa tidur. Saat pagi tiba, mereka terbangun dan merasakan damai. Sejak saat itu, mereka tahu bahwa meskipun dunia ini penuh dengan misteri, ada kalanya keberanian dan empati bisa membawa kedamaian, bahkan untuk arwah yang tersisa.
Gunung Lembah Angker tetap menyimpan rahasia, namun kisah mereka akan dikenang selamanya.